A Grain Of Wheat Ministries

Membaca Online
Datanglah Kerajaan Mu

Kepemimpinan dan kerajaan allah

Bab 13

Datanglah Kerajaan Mu, buku oleh David W. Dyer

PUBLIKASI MINISTRIES “A GRAIN OF WHEAT”

Oleh David W. Dyer

Diterjemahkan oleh L. Yunnita

DAFTAR ISI

Pendahuluan, Bab 1: “Datanglah kerajaan-mu

Bab 2: Dua “kerajaan”

Bab 3: Kronologi singkat

Bab 4: Hari tuhan

Bab 5: Pada mulanya

Bab 6: Amanat tuhan - kegagalan manusia

Bab 7: Kerajaan allah ada di antara anda

Bab 8: “Tuhan, tuhan”

Bab 9: Balasan yang setimpal

Bab 10: Pengampunan dan penghakiman

Bab 11: Anak laki-laki

Bab 12: Hidup dalam kemenangan

Bab 13: Kepemimpinan dan kerajaan allah (Bab saat ini)

Bab 14: “Pekerjaan iman”

Bab 15: Kata-kata penghiburan, Kesimpulan



Bab 13: KEPEMIMPINAN DAN KERAJAAN ALLAH

Kita telah berbicara tentang Kerajaan Allah; baik ten- tang bagaimana memasukinya maupun tentang bagaimana hidup di dalamnya. Saat merenungkan hal-hal ini dan berusaha mema- hami jalan-jalan Tuhan, pertanyaan tentang topik kepemimpinan sering kali muncul dalam pikiran kita, seperti halnya dalam piki- ran para murid.

Tidak diragukan lagi, dalam Gereja Tuhan ada kepemim- pinan. Di antara umat Allah, ada sebagian yang lebih dewasa, yang lebih berpengalaman, yang lebih bertalenta, dan yang secara khusus dipanggil oleh Allah untuk memimpin. Itu tidak dapat di- sangkal.

Namun, dalam Kerajaan Allah, kepemimpinan dijalankan dengan cara yang sangat tidak biasa. Cara Tuhan dan cara dunia benar-benar bertentangan satu sama lain. Oleh karena itu, jika kita ingin hidup di dalam Kerajaan-Nya yang bersifat rohani, kita ha- rus belajar caranya. Semua pemahaman dan definisi duniawi kita harus disingkirkan dan kita harus menerima dari Allah visi surga- wi yang baru.

Untuk dapat berada di dalam Kerajaan saat ini, sangatlah penting bagi setiap orang percaya untuk hidup dalam ketaatan ke- pada otoritas Sang Raja. Namun, bagaimana agar kita dapat me- lakukannya? Bagaimana agar kita dapat memahami otoritas Kera- jaan yang sejati? Topik penting ini tidak dapat diabaikan saat kita berusaha untuk memahami Kerajaan Allah.

Mungkin, prinsip dasar yang pertama dan paling penting yang harus kita pahami adalah bahwa Yesus adalah Raja dalam Ke- rajaan itu. Dia adalah yang memerintah dan Dia adalah yang du- duk di atas takhta. Tidak ada orang lain – selama-lamanya – yang dapat mengambil alih posisi-Nya itu. Meskipun Dia dapat dan me- mang memakai manusia, laki-laki dan perempuan, dari masa ke masa untuk menyalurkan otoritas-Nya, otoritas itu tetaplah selalu milik-Nya dan tidak menjadi milik orang yang menyalurkannya.

Dia adalah Kepala Tubuh (Kol. 1:18). Dia adalah “Kepala dari segala yang ada yang diberikan bagi Jemaat” (Ef. 1:22). Dalam segala sesuatu Dialah yang lebih utama (Kol. 1:18). Prinsip terse- but sangatlah penting. Yesus adalah Kepala dan tidak ada orang lain yang dapat mengambil alih posisi ini.

Ketika kepala tubuh manusia kehilangan kendali atas ang- gotanya, efek yang mengerikan dan tidak diinginkan pun muncul. Jika anggota tubuh lain mencoba untuk memenuhi fungsi kepala dan mengarahkan semua aktivitas seluruh tubuh, Anda tentu da- pat membayangkan kekacauan yang akan terjadi. Hanya Yesuslah yang dapat dan seharusnya menjadi Kepala yang mengarahkan semua aktivitas Gereja-Nya.

Memang benar bahwa saat ini Yesus tidak terlihat. Kita ti- dak dapat melihat-Nya dengan mata jasmani kita. Meskipun de- mikian, Dia tidak terhalang oleh batasan itu. Dia tetap sanggup memimpin kita semua dalam setiap aspek kehidupan kita. Oleh karena itu, adalah tugas kita untuk mengembangkan hubungan rohani yang nyata dan mendalam dengan Dia, sehingga kita dapat mengenal dan memahami kepemimpinan dan otoritas-Nya.

Di dunia ini, semakin kita mengenal seseorang secara ak- rab atau intim, semakin kita dapat merasakan keinginan mereka. Kita dapat tahu ketika mereka tidak bahagia atau sedang mengi- ngini sesuatu, sering kali bahkan tanpa mereka berbicara. Demi- kian juga, semakin kita mengenal Yesus secara intim melalui Roh, semakin kita dapat merasakan kepemimpinan-Nya dan mengi- kutinya. Melalui iman, kita dapat mengetahui kehendak-Nya dan mengikutinya setiap hari, dalam setiap aspek kehidupan kita.

Tidak ada alasan bagi setiap anak Tuhan untuk tidak dapat mengembangkan keintiman yang demikian dengan Dia untuk diri mereka sendiri serta belajar mengikut Dia. Bahkan faktanya, hal itu adalah sesuatu yang harus kita semua lakukan.

Dalam Kerajaan Allah, Yesus tidak mendelegasikan otori- tas-Nya. Dia sangat sanggup menjalankan segala sesuatu sendi- ri. Dia tidak terlalu sibuk sehingga membutuhkan bantuan. Dia tidak menjadi terlalu tua renta sehingga membutuhkan bantuan dari manusia. Dia memang tidak terlihat, tetapi itu bukan berarti Dia perlu mendelegasikan “kepemimpinan dalam bentuk nyata” kepada orang lain yang lebih “nyata” pula. Fakta bahwa Dia telah naik ke surga pun tidak berarti bahwa Dia terlalu jauh sehingga membutuhkan beberapa perwakilan di sini untuk mengambil alih posisi-Nya.

Karena Tuhan kita bersifat tak terbatas dan maha hadir, Dia sangat sanggup mengarahkan kehidupan setiap anak-Nya. Ti- dak ada alasan sama sekali bagi-Nya untuk menyerahkan sebagi- an otoritas-Nya kepada orang-orang yang kemudian akan bertin- dak atas nama-Nya sementara Dia sendiri tidak hadir. Tidak ada kebutuhan sama sekali bagi orang lain untuk “membantu” Tuhan menanggung beban tanggung jawab untuk mengarahkan fungsi Tubuh-Nya.

Dalam Kerajaan Allah, alih-alih “mendelegasikan” otori- tas kepada orang lain, Yesus terkadang memakai anggota-anggota Tubuh-Nya sebagai saluran untuk otoritas-Nya diteruskan. Ten- tu saja, mereka yang lebih dewasa dan memiliki hubungan yang lebih intim dengan Tuhan lebih mudah dipakai oleh-Nya untuk mengungkapkan kehendak dan arahan-Nya.

Namun, tidak peduli seberapa “rohani” seseorang, atau seberapa sering mereka telah dipakai sebagai saluran untuk me- neruskan otoritas Allah kepada orang lain, mereka tidak pernah menjadi atau memiliki otoritas itu sendiri. Manusia itu tidak me- miliki otoritasnya sendiri, tetapi selalu dan hanya hamba sahaya yang menyalurkan otoritas Allah untuk mengalir. Yesus, dalam Gereja-Nya, tidak memberikan otoritas pribadi-Nya kepada ma- nusia, tetapi memakai mereka untuk menyatakan otoritas-Nya.

Meskipun Yesus memberikan otoritas kepada pengi- kut-Nya atas setan-setan, Dia tidak memberikan mereka otoritas atas satu sama lain. Secara signifikan, perselisihan dalam hal itu sering muncul di antara para murid. Mereka sering membayang- kan dan bahkan berdebat di antara mereka sendiri tentang siapa yang akan berada pada posisi “berwenang” dalam Kerajaan yang akan datang.

Mereka ingin menentukan siapa yang akan memegang kendali. Mereka ingin menjadi orang yang menjalankan segalanya dan lebih besar daripada yang lain. Pada suatu kesempatan, untuk mengatasi masalah yang terus-menerus berlarut-larut itu, Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di depan mereka. Kemudian, Dia mengajar mereka bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan, kita harus menjadi seperti anak kecil itu (Mat. 18:2-4).

Ilustrasi itu pun seharusnya berbicara sangat kuat bagi kita. Pikirkan saja dengan hati-hati. Anak-anak tidak menjalankan apa pun. Mereka tidak mengendalikan skema besar, pekerjaan be- sar untuk Tuhan, atau perusahaan. Sebaliknya, karena mereka ma- sih muda dan polos, mereka sepenuhnya bergantung pada ayah mereka untuk mendapatkan bimbingan dan arahan. Mereka tidak memiliki otoritas dan kendali atas orang lain, tetapi selalu mem- butuhkan perlindungan dan bimbingan.

Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita juga harus menjadi seperti itu. Jika tidak, Alkitab menjamin bahwa kita tidak akan masuk ke dalamnya. Itulah dasar untuk otoritas sejati da- lam Kerajaan. Tidak ada satu pun orang percaya yang cukup he- bat sehingga tidak memiliki kebutuhan yang besar untuk menjadi seperti anak kecil. Bahkan, semakin kita dewasa, alih-alih tidak perlu menjadi seperti anak kecil lagi, kita justru semakin mantap tiba pada kondisi yang persis seperti itu. Kita bukan menjadi be- sar dan menerima otoritas atas orang lain; semakin dewasa rohani kita, justru semakin kita merasa dan bertindak seperti anak kecil.

KECUALI KAMU MERENDAHKAN DIRIMU

Salah satu rahasia paling penting untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah adalah bahwa kita harus merendahkan diri. Di Ma- tius 18:3 dan 4, Yesus mengajarkan bahwa kecuali kita merendah- kan diri dan menjadi seperti anak kecil, kita sama sekali tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.

Allah menentang orang yang sombong (Yak. 4:6). Kera- jaan-Nya dalam banyak hal adalah persis kebalikan dari sifat hal- hal di dunia ini. Di dunia ini, kita memiliki presiden, gubernur, dan raja yang sering kali bangga dengan diri sendiri dan penuh kesombongan. Kepala mereka besar karena terpompa oleh posi- si dan kekuasaan mereka. Mereka memiliki pakaian, rumah, dan alat transportasi yang mewah untuk mencocokkan status mereka dalam pandangan dunia.

Itu semua bukanlah jalan menuju Kerajaan Allah. Jalan-Nya sangatlah berbeda. Mereka yang hidup dalam ketaatan kepada Tuhan tidak sombong. Mereka tidak mencari pengakuan, posisi khusus, atau “pelayanan di seluruh dunia” untuk nama me- reka sendiri. Mereka tidak mencari ketenaran atau perhatian. Me- reka adalah orang-orang rendah hati, yang bersedia menjadi se- perti anak kecil yang tidak memiliki ketenaran atau status di mata dunia. Kecuali kita juga tiba pada titik itu, kita dapat memastikan bahwa kita tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah yang akan datang.

Yesus sendiri mengajarkan bahwa “... banyak orang yang pertama akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan men- jadi yang pertama” (Mat. 19:30) dalam Kerajaan yang akan datang. Mengapa demikian? Hal itu adalah karena, sayangnya, banyak orang percaya yang mencoba memanfaatkan hal-hal yang dari Allah untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka menggunakan berbagai cara dan metode duniawi untuk membesarkan diri mere- ka di mata orang Kristen lainnya. Mereka menggunakan karunia dan pelayanan mereka untuk mengumpulkan kekayaan, kekua- saan, dan status. Mereka meninggikan diri di atas orang lain dan mempekerjakan orang lain untuk memajukan skema dan “pela- yanan” mereka.

Mereka terus-menerus membanggakan diri tentang bera- pa banyak “gereja yang berada di bawah kepemimpinan mereka” atau berapa banyak orang yang menghadiri acara kebaktian me- reka. Para saudara dan saudari yang memprihatinkan itu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Mereka telah meleset dari sasaran dan menyimpang dari jalan-Nya. Seperti yang pernah di- katakan seseorang, “Setiap pelayanan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi bukan untuk memenuhi kebutuhan ‘si pelayan’ untuk dilihat dan didengar”.

Seorang pelayan Yesus yang sejati harus diremukkan oleh Allah. Ambisi dan semangatnya untuk “melakukan hal-hal besar bagi Allah” harus dihancurkan. Kepercayaannya pada kemampu- an, kecerdasan, dan karunianya sendiri harus dimatikan.

Orang yang saat ini telah belajar hidup di dalam Kerajaan Allah adalah seperti seorang anak kecil, karena dia telah belajar untuk sepenuhnya percaya kepada Bapa. Dia tidak lagi termoti- vasi oleh diri sendiri atau penuh dengan energi manusiawinya. Dia tidak meluap-luap dengan semangat untuk rencana dan pro- yeknya sendiri. Sebaliknya, dia telah belajar melalui pengalaman keras untuk setiap hari hanya melakukan apa yang dia lihat Bapa lakukan.

Itu bukan berarti Allah tidak dapat memakai seseorang dengan kuasa-Nya. Itu pun bukan berarti Allah tidak dapat meng- angkat seseorang dan memakai orang itu untuk meninggikan nama-Nya. Itu hanya berarti ketika sebuah wadah siap untuk di- pakai oleh Sang Tuan, wadah itu telah dipersiapkan, sehingga da- lam kerendahan hati dan kesederhanaan yang seperti anak kecil, si wadah dapat digunakan untuk menyatakan kehendak Tuannya. Pelayan-pelayan yang seperti itu tidak lagi “melakukan peker- jaan bagi Allah”, tetapi justru Allah-lah yang melakukan peker- jaan-Nya melalui diri mereka.

OTORITAS DI DALAM GEREJA

Saat kita membahas Kerajaan Allah dan sifat serta kondi- sinya, mungkin akan berguna pula untuk kita berbicara singkat tentang “pemerintahan Gereja”. Banyak kelompok Kristen dan “gereja” memiliki struktur otoritas berbentuk piramida. Mereka memiliki seorang pemimpin di puncak yang memegang sebagian besar kekuasaan. Kemudian di bawahnya ada level berbeda yang berisi lebih banyak orang dengan otoritas yang lebih rendah, dan seterusnya ke bawah sampai pada orang-orang dalam “jajaran dan barisan dasar”.

Struktur seperti itu sama dengan pemerintahan dunia atau organisasi bisnis. Mereka percaya bahwa struktur itu merupakan cerminan otoritas Tuhan. Bahkan ada pula golongan-golongan yang sampai pada titik memaksa bahwa untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus menyerahkan diri kepada mereka dan organisasi mereka. Mereka mengajarkan bahwa kita harus men- jadi murid mereka karena merekalah yang memiliki wahyu unik tentang kehendak Allah.

Seperti yang telah kita lihat, Yesus mengajarkan kepada kita cara yang sepenuhnya berbeda. Bahkan, seharusnya cara yang tepat berlawanan dengan struktur duniawi. Alih-alih mereka yang lebih rohani menggunakan otoritas untuk memerintah “atas” orang lain, mereka seharusnya menjadi pelayan atau bahkan bu- dak. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa pelayan dan budak tidak memerintah tuan mereka atau mendikte apa yang harus dilaku- kan oleh tuan mereka.

Yesus dengan jelas mengajar kita tentang “struktur oto- ritas” yang sebenarnya dari Kerajaan-Nya. Kita dapat memba- canya, “Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelin- dung-pelindung. Tetapi kamu janganlah demikian” (Luk. 22:25, 26). Anda dapat melihat bahwa di antara orang-orang kafir, satu orang bangkit untuk menggunakan otoritas atas yang lain dan ber- sikeras bahwa mereka melakukannya demi “melindungi” orang yang dipimpin. Mereka menyebut diri “pelindung”.

Betapa seringnya di gereja-gereja masa kini kita melihat hal yang persis seperti itu. Orang-orang, laki-laki dan perempu- an, menggunakan otoritas dan memerintah “atas” orang lain sam- bil mengklaim melakukannya untuk manfaat perlindungan bagi orang lain itu. Padahal, itu jelas bukan cara Kerajaan Allah. Cara itu telah dilarang oleh Yesus.

Dalam Kerajaan-Nya, tidak ada seorang pun yang le- bih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Yesus berkata, “... kamu semua adalah saudara” (Mat. 23:8). Kita semua berada pada “tingkat” yang sama. Tidak ada yang patut disebut lebih be- sar atau lebih kecil, lebih baik atau lebih buruk, lebih tinggi atau lebih rendah. Selanjutnya, tidak ada gelar seperti “bapa”, “pemim- pin”, atau “rabi” (Mat. 23:8-12). Instruksi Yesus sangat jelas tentang hal ini. Tidak ada gelar atau perbedaan khusus yang diizinkan.

Sebenarnya, daftar ini bisa diperluas untuk mencakup se- butan-sebutan seperti “gembala”, “uskup”, atau “penatua” juga. Dalam sistem Kerajaan Allah, tidak ada hierarki. Semua orang ber- ada di bidang yang sama, mereka semua hanyalah saudara-sau- dara satu sama lain. Hanya ada satu Pemimpin. Siapa pun yang memiliki ambisi untuk menjadi besar harus belajar merendahkan diri dan menjadi pelayan bagi yang lain. Dia yang ingin naik ke puncak, harus menjadi hamba bagi semua (Mrk. 10:44).

(Meskipun kata-kata seperti “gembala”, “penatua”, dan sebagainya muncul dalam ayat-ayat Alkitab, semuanya itu tidak pernah digunakan sebagai gelar, tetapi hanya sebagai deskripsi jenis pelayanan yang dilakukan orang-orang terkait. Misalnya, tentu Anda tidak pernah membaca tentang Gembala Petrus, atau Rasul Paulus, tetapi tentang Paulus, “hamba Allah dan rasul Yesus Kristus” (Tit. 1:1), dan tentang Petrus “seorang hamba dan rasul” (2Ptr. 1:1).)

Sayangnya, umat Allah sering kali sangat mudah tertipu. Mereka mudah terpengaruh oleh orang-orang yang secara khusus menunjukkan energi dan “kepemimpinan”. Sama seperti orang- orang di dunia, mereka terkesan dengan karisma dan kepribadian orang lain. Jadilah, mereka mengikuti ambisi dan rencana indivi- du yang kuat itu.

Paulus pun menulis kepada jemaat di Korintus tentang “rasul-rasul palsu” dan “pekerja-pekerja curang” yang merupa- kan pemimpin yang didorong oleh keakuan diri sendiri. Dia ber- kata, “... karena kamu sabar, jika orang memperhamba kamu [pe- nyerahan kepada otoritas manusia], jika orang memangsa kamu [memanfaatkan kasihmu kepada Yesus untuk keuntungan me- reka sendiri], jika orang menguasai kamu [mengambil waktumu dan uangmu], jika orang berlaku angkuh terhadap kamu [men- jadi ‘pemimpin rohani yang besar’], jika orang menampar kamu” (2Kor. 1:13,20).

Paulus menyebutkan “menampar kamu” di situ bukan ka- rena orang-orang tersebut benar-benar memukul orang lain secara fisik, melainkan untuk menunjukkan betapa menghinanya perila- ku seperti itu, sementara saudara-saudara di Korintus tidak me- nyadarinya. Mereka justru sabar dengan semua itu!

Banyak anak-anak Allah, yang tidak memahami jalan-jalan Kerajaan dan malah terkesan oleh hal-hal duniawi, terpikat untuk mengekor di belakang pemimpin yang penuh semangat dan karis- matik, dan terus saja dimanfaatkan oleh pemimpin-pemimpin itu.

Banyak orang Kristen ingin menjadi rendah hati dan taat. Mereka ingin menyenangkan Allah. Namun karena mereka tidak mengenali otoritas yang sebenarnya dan tidak benar-benar me- ngenal jalan-jalan Kerajaan Allah, mereka menyerahkan diri ke- pada manusia dan otoritas manusia, sehingga dengan demikian membuang banyak waktu, energi, dan uang untuk membangun sesuatu yang tidak akan bertahan melewati ujian pada Hari Pe- nentuan itu.

Sangat sulit untuk mengenali otoritas Kerajaan yang sebe- narnya. Karena hamba Allah rendah hati dan tidak meninggikan diri, manusia secara alamiah tidak mudah menanggapi kepemim- pinan Allah melalui dia. Untuk mengenali otoritas sejati dalam Kerajaan yang tak terlihat, kita harus memiliki mata rohani dan kepekaan untuk membedakan.

Paulus sendiri mengalami banyak penolakan karena dia tidak meninggikan dan tidak memuliakan diri sendiri. Dalam sa- lah satu suratnya, dia menggunakan dua bab (2Kor. pasal 11 dan 12) untuk berbicara kepada saudara-saudara seiman tentang hal itu. Dia bersikeras bahwa dia telah “mempertunangkan” mere- ka “kepada Kristus” tetapi ada beberapa orang yang masuk ke tengah-tengah mereka dengan agenda lain. Orang-orang lain itu memberitakan pesan lain dengan tujuan lain, yaitu untuk mening- gikan diri mereka sendiri dan mengamankan basis pengikut pri- badi.

Paulus telah mengajar jemaat bagaimana cara mengikut Yesus, tetapi orang-orang lain itu bersikeras agar jemaat mengi- kuti mereka. Mereka menggunakan pesan Yesus untuk kepenting- an mereka sendiri.

Saudara-saudari yang terkasih, Yesus sendiri telah mengi- ngatkan kita bahwa kita tidak boleh membiarkan ada orang yang mengambil mahkota kita [mahkota merujuk pada pemerintahan di dalam Kerajaan] (Why. 3:11). Tidak diragukan lagi, Tuhan kita berbicara tentang situasi yang persis seperti ini. Tidak ada seorang pun di alam semesta yang layak memiliki pengikut kecuali Allah. Kepada Dialah kita harus tunduk dan taat. Maka, siapa pun yang meninggikan diri untuk mencari “anggota” atau pengikut pasti masuk ke dalam persaingan dengan Allah sendiri.

Lalu, siapa orang pertama yang mulai menggunakan ta- lenta, kekuatan, dan kemampuan yang Allah berikan kepada- nya untuk menarik sekelompok pengikut? Sebenarnya, “orang” itu adalah Setan sendiri. Dia membangun kerajaan kecil dengan menggunakan kecerdikan dan kebohongan, lalu menarik manusia dari pemerintahan Allah.

Sayangnya, aktivitas seperti itu juga umum terjadi di dalam Gereja sekarang ini. Banyak orang suka memiliki otoritas dan peng- ikut. Jiwa mereka membesar dengan kehormatan, gelar, dan perha- tian yang menjadi dampak ikutan dari adanya pengikut-pengikut itu. Mereka ingin dilihat dan didengar, maka mereka mengguna- kan ayat-ayat Alkitab, biasanya dengan sedikit memutarbalikkan maksudnya, untuk membenarkan apa yang mereka lakukan.

Paulus memperingatkan jemaat bahwa hal yang demiki- an akan terjadi. Dia berkata bahwa setelah kepergiannya, akan bangkit dari antara mereka orang-orang yang “dengan ajaran pal- su berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar supaya mengikut mereka” (Kis. 20:31).

Mereka menggunakan cara tertentu untuk menyimpang- kan kebenaran. Mereka bersikeras bahwa manusia dapat menca- pai atau menerima semacam otoritas – mungkin bahkan dari Allah – untuk bertindak dan berbicara mewakili-Nya seolah-olah posisi mereka “di atas” orang lain dalam berbagai hal. Mereka memba- yangkan bahwa karena karunia atau kemampuan mereka, mereka layak memiliki pengikut atau murid.

Bentuk pemikiran dan praktik ini merupakan pelanggaran langsung terhadap prinsip-prinsip Kerajaan Allah. Itu adalah pe- kerjaan antikristus. Menariknya, salah satu arti utama kata “anti” dalam bahasa Yunani adalah “menggantikan”, bukan hanya “me- lawan”. Oleh karena itu, antikristus adalah seseorang yang meng- ambil alih posisi Kristus di Gereja.

Ketika seorang laki-laki atau perempuan mendirikan oto- ritasnya sendiri, atau “gereja”-nya sendiri, dengan dirinya sendiri sebagai pemimpin sedangkan orang-orang lain sebagai “domba”, dia sedang mendirikan kerajaannya sendiri, di samping keberada- an Kerajaan Allah. Dia masuk ke dalam persaingan dengan Yesus sendiri untuk mendapatkan otoritas dan pengikut. Meskipun dia pasti menggunakan Alkitab dan hal-hal yang terkesan dari Allah untuk membenarkan hal-hal yang dilakukannya, apa yang dia ba- ngun itu tidak akan bertahan melewati ujian pada Hari Pengha- kiman. Saudara-saudara yang melakukan hal demikian jatuh ke dalam kesalahan karena mereka belum benar-benar melihat atau memahami Kerajaan Allah.

Saat seseorang menempati posisi otoritas atas orang lain dalam keluarga Allah (biasanya disertai dengan semacam gelar), orang itu secara otomatis naik ke posisi di atas orang lain. Musta- hil untuk menjadi “di atas” tanpa sekaligus menjadi “lebih ting- gi”. Dengan posisi itu, secara otomatis datanglah kehormatan dan penghargaan yang diberikan orang kepada seseorang yang men- duduki posisi seperti itu.

Seseorang mungkin mencari kehormatan tersebut untuk diri sendiri atau orang lain mungkin memberikannya kepada me- reka, tetapi hasilnya sama saja. Akan menjadi sangat sulit bagi- nya untuk menjadi pelayan sejati. Seorang pelayan harus berada di bawah orang lain dan, dengan demikian menjadi lebih rendah daripada orang lain. Kita tidak dapat benar-benar melayani orang lain dari posisi yang lebih tinggi. “Pelayanan” yang dilakukan dari posisi “di atas” orang lain merupakan semacam sikap meren- dahkan, karena pelayan itu berpura-pura berada di bawah, tetapi sebenarnya menganggap diri lebih unggul. Meskipun kita tidak bermaksud demikian, hal itu adalah hasil yang tak terhindarkan.

Solusinya adalah tidak menerima posisi otoritas atas orang lain. Dengan cara ini, kita dapat mempertahankan posisi yang ren- dah hati. Yesus pun, yang sebenarnya layak mendapatkan peng- hormatan dan status, menghindari setiap saran yang seperti itu. Ketika orang-orang datang untuk menjadikan Dia Raja, Dia hanya pergi (Yoh. 6:15). Pada peristiwa lain, Dia berkata, “Aku tidak me- nerima hormat dari manusia” (Yoh. 5:41). Tuhan kita tidak pernah mencari posisi duniawi atau penghormatan dan kemuliaan manu- sia. Tentu saja teladan-Nya itu layak untuk diikuti.

Masalah lain yang muncul dalam keadaan seperti itu ada- lah kesombongan. Ketika kita menerima penghormatan dari ma- nusia, hampir tidak mungkin ego kita tidak membengkak. Ketika kita menerima posisi otoritas, mudah bagi sisi hampa di dalam diri kita untuk membesar selagi ego kita disanjung-sanjung. Sei- ring dengan waktu, kita mungkin mulai percaya bahwa kita be- nar-benar layak mendapatkan perhatian dan kekaguman yang diberikan kepada kita itu.

Entah cepat atau lambat, mau tidak mau, semua itu akan berdampak pada hati dan pikiran kita. Tidak ada manusia yang kebal dari jenis penghormatan ini. Inilah yang menimbulkan aura kesombongan yang banyak dipancarkan oleh pemimpin Kristen saat ini.

Saudara-saudari yang terkasih, itu adalah perangkap setan (1Tim. 3:7). Ketika kesombongan kita meningkat dan ego kita di- sanjung dengan penghormatan dan perhatian konstan dari orang lain, kita telah menjadi mangsa sang musuh jiwa kita.

Cara satu-satunya untuk menghindarinya adalah dengan tidak membiarkan diri Anda diletakkan dalam posisi palsu seperti itu. Dalam kitab Pengkhotbah pasal 8 ayat 9, kita menemukan ke- benaran yang menarik. Kita bisa membacanya, “[...] ketika orang yang satu menguasai yang lain hingga ia celaka”. Ketika kita me- nempati posisi di gereja dengan berada di atas orang lain, kita be- risiko menimbulkan kerusakan rohani tidak hanya kepada mere- ka, tetapi juga kepada diri kita sendiri.

Harus diakui, banyak orang melakukan hal itu karena ke- tidaktahuan. Saya percaya bahwa mayoritas orang yang melaku- kan hal semacam itu tidak melakukannya karena kejahatan atau sengaja berusaha bersaing dengan Allah. Sebaliknya, sepertinya banyak orang yang kurang mendapat pewahyuan saja.

Mereka tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang jalan-jalan Kerajaan Allah. Mereka tidak benar-benar tahu bagai- mana membiarkan Sang Kepala memimpin dan membangun Tu- buh. Mereka tidak benar-benar melihat bagaimana Raja itu sang- gup dan akan memerintah atas Kerajaan-Nya sendiri tanpa banyak bantuan dari mereka. Mereka menaruh lebih banyak kepercayaan pada diri mereka sendiri daripada pada Allah yang tak terlihat.

Banyak dari orang-orang itu sering ingin melayani Allah, tetapi karena kekurangan visi surgawi, mereka mulai membangun dan bertindak mengikuti contoh yang mereka lihat di dunia seki- tar mereka dan contoh pada orang lain yang tampaknya sukses. Ketika “gereja di sebelah” mulai berkembang dan menarik banyak anggota, gereja-gereja lain bergegas meniru cara-cara dan metode mereka. Ketika suatu praktik atau cara tertentu mulai “berhasil” bagi orang lain, mereka langsung ingin menerapkannya dalam ke- lompok mereka.

Dengan demikian, Gereja pada zaman kita saat ini dipe- nuhi dengan banyak “pekerjaan yang hebat” dari bahan kayu, je- rami, dan sekam (1Kor. 3:12). Namun, banyak dari “kerajaan-kera- jaan” yang dibangun yang tampaknya mengesankan di mata jasmani kita sesungguhnya kekurangan sesuatu yang sangat men- dasar. “Kerajaan-kerajaan” itu tidak dapat benar-benar menjadi bagian dari Kerajaan Allah karena tidak mengikuti prinsip-prinsip yang jelas diajarkan Yesus.

Yang menarik, Tuhan kita sangat rendah hati, sangat ber- kuasa, dan sangat bijaksana, sehingga Dia bahkan memakai hal- hal yang tidak benar dan hal-hal yang melanggar kehendak-Nya. Dia kadang bekerja melalui (atau sebenarnya, bekerja atas) hal-hal yang kita lakukan yang tidak sesuai dengan Kerajaan-Nya, untuk mencapai tujuan-Nya.

Ketika dan di titik-titik Dia menemukan celah otoritas-Nya, Dia terkadang memakai orang-orang yang terlibat dalam pekerja- an yang sebenarnya tidak benar-benar diserahkan kepada-Nya, untuk melakukan kehendak-Nya. Meskipun kerajaan-kerajaan lain yang didirikan manusia atas nama Yesus adalah penghalang besar bagi-Nya, Dia tetap menemukan cara untuk melayani umat-Nya.

Kadang-kadang orang-orang yang terlibat di dalam upaya demikian membayangkan bahwa karena Allah melakukan sesu- atu, mereka tentu orang-orang yang dipakai Allah. Karena Yesus menemukan cara untuk bekerja atas dan melalui kerajaan-kerajaan lain itu, mereka mulai membayangkan bahwa mereka benar-benar efektif.

Namun, sering kali, efektivitas kita hanyalah sebagian ke- cil dari besarnya efektivitas yang seharusnya dan yang menjadi potensinya. Betapa lebih baiknya dan betapa lebih berkuasanya pekerjaan kita bisa jika kita dapat belajar hidup dan bekerja selaras dengan Kerajaan Allah!

Saya telah mengatakan bahwa Allah bahkan akan mema- kai hal-hal yang bertentangan dengan kehendak-Nya. Namun, fakta bahwa Allah mengizinkan dan memakai kesalahan kita tidak dapat menjadi alasan atau pembenaran. Pada akhirnya Tuhan pun memakai setan untuk memajukan tujuan-Nya.

Sering kali manusia membenarkan penggunaan metode dan otoritas duniawi dengan mengklaim bahwa itu semua mem- buahkan hasil. Namun, standar apa yang mereka gunakan untuk mengukur keberhasilan ini? Adalah kesalahan besar mengguna- kan cara dan metode duniawi dan kemudian menggunakan stan- dar manusia untuk menilai efektivitasnya. Jika jumlah yang besar, “tempat ibadah” yang besar, dan ketenaran duniawi adalah stan- darnya, tentu saja banyak yang menjadi “sukses”.

Namun, pertanyaan sebenarnya adalah, “Berapa banyak orang yang benar-benar dibawa ke dalam penundukan kepada Sang Raja, dan dengan demikian, memasuki Kerajaan surgawi?”, “Berapa banyak orang yang benar-benar belajar hidup di bawah pemerintahan Allah?”, “Apakah mereka benar-benar mengenal Dia secara intim dan mendengar suara-Nya sendiri?”, “Apakah mereka menyerahkan setiap aspek hidup mereka untuk berada di bawah pengawasan-Nya dan aturan-Nya?”, “Apakah mereka men- jadi orang-orang yang semakin rendah hati dan kudus?”. Apakah kita hanya mengisi bangunan kita dengan orang-orang yang per- caya kepada kita tetapi tidak benar-benar bertobat, sehingga tidak memiliki penyerahan yang dalam dan tulus kepada Allah?

Yesus menyatakan bahwa banyak orang akan ditolak ma- suk ke dalam Kerajaan-Nya. Ketika ini terjadi, mereka akan mem- bela posisi mereka dengan berkata, “Tuhan, Tuhan... bukankah kami mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu?” Anda su- dah tahu jawaban-Nya.

Dia berkata: “Enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian yang melakukan kejahatan!” [yang dimaksud adalah pekerjaan yang terpisah dari Kerajaan-Nya, atau pemberontakan] (Mat. 7:22-23). Mereka harus meninggalkan hadirat-Nya karena mereka tidak menyerahkan diri kepada otoritas-Nya dalam pekerjaan yang me- reka lakukan.

Meskipun ada beberapa ayat dalam Perjanjian Baru yang tampaknya berbicara tentang struktur otoritas manusia seperti yang sering kita lihat hari ini di antara umat Allah, pemeriksaan yang cermat terhadap ayat-ayat itu mengungkapkan makna yang lain. Terlalu sering, penerjemah Alkitab menangani pekerjaan me- reka dengan membawa gagasan yang telah terbentuk sebelumnya dari pengalaman dan praktik mereka secara umum.

Sebagai contohnya, kita dapat membaca 1 Timotius 3:1, 10, 13 bahwa “orang yang menghendaki jabatan pengawas jemaat menginginkan pekerjaan yang mulia”, yang menyiratkan bahwa ada “jabatan” atau “posisi otoritas” di dalam Gereja. Namun, se- benarnya kata “jabatan” itu tidak berasal dari kata apa pun dalam bahasa Yunani aslinya. Kata itu hanya muncul karena diciptakan oleh para penerjemah.

Demikian juga, kita dapat membaca tentang menyerah- kan diri kepada mereka yang “memimpin kamu di dalam Tuhan” (1Tes. 5:12; Ibr. 13:17, 24). Kata “memimpin” itu dalam bahasa Yunani adalah “proistemi”, yang secara harfiah berarti “berdiri di depan” dan oleh karena itu berarti “memimpin”. Tidak ada kono- tasi “posisi di atas” atau “mengendalikan”. Hal yang sama berlaku pula untuk kata “pemimpin” yang ditemukan dalam Ibrani 13:7, 17, 24. Di situ, kata aslinya dalam bahasa Yunani adalah “hegeo- mai” yang berarti secara harfiah, yang “mendahului” atau “me- mimpin jalan”.

Kepemimpinan dalam Perjanjian Baru dilakukan melalui teladan, bukan menurut perintah atau kontrol, bukan posisi oto- ritas, atau menjadi “di atas” orang lain. Petrus menegaskannya dengan menuntut agar para “pemimpin” melakukan tanggung jawab mereka “bukan sebagai tuan atas” tetapi lebih sebagai “tela- dan bagi” kawanan domba (1Ptr. 5:3).

Seorang hamba Allah yang rendah hati memiliki kehi- dupan yang patut ditiru. Paulus berkata kepada jemaat Korintus bahwa dia tidak memiliki “kuasa atas” iman mereka, tetapi bahwa dia dan yang lainnya hanyalah “turut bekerja untuk sukacitamu” (2Kor. 1:24). Betapa berbedanya!

Contoh lain adalah kata “taat”. Di Ibrani 13:17 kita mem- baca bahwa kita harus “taat” kepada mereka yang “memimpin” atas kita. Terjemahan itu memberikan kesan bahwa memang ada hierarki otoritas yang harus kita patuhi, tanpa perlu memperta- nyakan. Namun, kata bahasa Yunaninya di situ adalah “peitho” yang berarti “diyakinkan” atau “mendengarkan”, dan karena me- miliki keyakinan itu, rela taat.

W.E. Vine dalam Expository Dictionary of New Testament Words (Kamus Eksposisi Kata-Kata dalam Perjanjian Baru) menga- takan, “‘Ketaatan’ yang disarankan bukanlah dengan penyerahan diri pada otoritas, tetapi sebagai hasil dari telah memiliki keyakin- an”. Tidak ada bagian-bagian dalam firman Allah yang saling ber- tentangan. Maka, ketika kita membaca terjemahan yang tampak- nya merekomendasikan struktur otoritas seperti dunia, kita harus menyadari ada kesalahpahaman.

Tidak satu pun tulisan yang ditemukan dalam surat-surat Perjanjian Baru mungkin mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan instruksi Yesus tentang Kerajaan Allah. Jika ada ide lain yang disampaikan, kita dapat yakin bahwa terjemahan pada ba- gian itu tidak benar. Oleh karena itu, setiap orang percaya yang sombong dan egois yang merasa panggilannya adalah untuk men- dominasi atau memberikan arahan atas kehidupan orang lain ha- rus kita hindari.

Satu bagian khusus yang sering disalahartikan adalah ke- tika perwira yang anak perempuannya disembuhkan oleh Yesus berkata, “Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi! maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Kemari! maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini! maka ia me- ngerjakannya.” (Mat. 8:9). Dari situ, sebagian orang menentukan bahwa harus ada pejabat-pejabat dengan otoritas seperti itu di da- lam Gereja.

Namun, orang Romawi yang baik hati itu sama sekali tidak bermaksud memberikan pelajaran tentang pemerintahan Gereja. Jika kita memutarbalikkan ayat itu dari semua konteks yang masuk akal, barulah kita dapat membayangkan bahwa bagian itu berkait- an dengan bagaimana orang percaya seharusnya berinteraksi satu sama lain dalam Gereja saat ini. Pernyataan orang itu hanyalah pengakuan akan otoritas mutlak Allah Yang Maha Tinggi, yaitu sesuatu yang harus kita juga akui. Ajaran dan teladan Yesus yang jelas harus selalu menang dalam pemahaman kita tentang otori- tas. Dia menghindari dijadikan raja (Yoh. 6:15). Dia terus-menerus merendahkan diri. Setelah banyak mukjizat, Dia berkata kepada orang-orang untuk tetap diam tentang itu. Dia tidak pernah men- cari pengakuan dan pujian. Dia tidak pernah mencari kerumunan agar dapat dikagumi dan didengar.

Salah satu ayat favorit saya berbunyi, “Ketika Yesus meli- hat orang banyak mengelilingi-Nya, Ia menyuruh bertolak ke se- berang.” (Mat. 8:18). Alih-alih melihat kerumunan sebagai kesem- patannya untuk dilihat dan didengar lalu melompat ke atas batu dan mulai berkhotbah, Dia berbalik dan pergi. Bagaimana dengan Anda? Apa yang Anda cari? Kemuliaan dan kehormatan siapa yang ada di garis depan usaha Anda “demi Allah”?

Ketika murid-murid bertanya tentang siapa yang terbesar, Dia bangkit dari meja, melepas jubah-Nya, memakai handuk, dan mulai melakukan peran pelayan yang paling rendah. Mungkinkah kita tidak mendengar apa yang Dia katakan? Mungkinkah kita ti- dak melihat teladan-Nya tentang bagaimana Kerajaan-Nya seha- rusnya beroperasi?

Memang benar, ada orang-orang di Gereja yang dipakai oleh Allah sebagai bejana untuk meneruskan otoritas-Nya. Karena ada orang-orang yang sering dipakai oleh Allah dengan cara itu, mereka menjadi dikenal sebagai “pemimpin”. Tidak salah untuk mencari nasihat dan bimbingan dari hamba-hamba Allah sema- cam itu. Allah sanggup dan memang memakai para laki-laki dan perempuan yang dewasa dan bijaksana untuk membantu kita.

Namun, kita tidak boleh sampai pada titik di mana kita memandang pada mereka dan bukan pada Allah. Pandangan kita tidak boleh bergeser dari Sang Raja kepada satu atau lebih hamba- Nya. Ketika kita mulai bergantung pada manusia lain untuk arah- an, itu adalah tanda pasti bahwa kita tidak benar-benar hidup da- lam penyerahan kepada Raja kita. Di suatu titik atau dengan cara tertentu, kita telah kehilangan kontak dengan Kepala rohani kita dan oleh karena itu mencari arahan dan nasihat manusia.

Namun, kita tidak boleh sampai pada titik di mana kita memandang pada mereka dan bukan pada Allah. Pandangan kita tidak boleh bergeser dari Sang Raja kepada satu atau lebih hamba- Nya. Ketika kita mulai bergantung pada manusia lain untuk arah- an, itu adalah tanda pasti bahwa kita tidak benar-benar hidup da- lam penyerahan kepada Raja kita. Di suatu titik atau dengan cara tertentu, kita telah kehilangan kontak dengan Kepala rohani kita dan oleh karena itu mencari arahan dan nasihat manusia.

Raja Saul akhirnya mencapai posisi itu. Allah telah ber- henti berbicara kepadanya karena pemberontakannya terhadap Dia. Maka, Saul mulai mencari nasihat dari sumber manusia dan bahkan mencoba menghubungi orang mati untuk bantuan. Beta- pa banyaknya anak Allah yang juga masuk ke dalam keadaan itu. Mereka tidak hidup dalam penyerahan sejati kepada Yesus dan oleh karena itu mereka selalu mencari beberapa “pemimpin” atau “pelindung” atau “kepala” lain untuk arahan. Sering kali, nasihat yang mereka dapatkan adalah sesuatu yang secara rohani sebenar- nya “mati”.

Dalam kitab Hakim-Hakim, kita mendapatkan ilustrasi prinsip otoritas rohani yang sangat luar biasa melalui sosok Gi- deon. Gideon adalah seorang pria yang dipakai oleh Allah untuk memimpin umat-Nya dan melakukan pembebasan besar bagi me- reka dari penindas.

Akibatnya, rakyat ingin meninggikan dia ke posisi otoritas atas mereka. Mereka ingin “meresmikan” situasi dengan menja- dikannya raja mereka. Itu tentu akan memberi mereka perasaan keamanan dan kepemimpinan duniawi. Itu akan memberi mereka sosok pemimpin yang nyata yang bisa mereka percayai.

Orang-orang itu berkata, “Hendaklah engkau memerintah atas, baik engkau, anakmu maupun anak cucumu, sebab engkau- lah yang telah menyelamatkan kami dari tangan orang Midian” (Hak. 8:22).

Namun, Gideon mengetahui tentang hati dan cara-cara Allah, sehingga dia dengan bijak menolak tawaran kekuasaan dan posisi itu. Dia menjawab mereka dengan berkata, “Aku tidak akan memerintah atas kamu, juga anakku tidak akan memerintah atas kamu, melainkan TUHAN-lah yang akan memerintah atas kamu” (Hak. 8:23). Itulah yang selalu menjadi maksud Allah, bahwa Dia sendiri akan menjadi Kepala dan Raja kita.

Kemudian dalam kisah itu, setelah kematian Gideon, salah satu putranya, bernama Abimelekh, melakukan langkah sendiri untuk merebut kekuasaan. Karena menyadari keinginan orang- orang untuk dipimpin seorang raja dan melihat itu sebagai kesem- patan baginya, dia membunuh putra-putra Gideon yang lain dan menjadikan dirinya raja mereka.

Namun, salah satu putra lainnya lolos dari pembantaian itu. Saat putra itu melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa- nya, dia berhenti di sebuah bukit terdekat dan membuat pernya- taan berikut kepada saudaranya serta kepada kerumunan orang. Mungkin seharusnya pernyataan itu tetap menjadi pesan yang kuat bagi kita saat ini. Putra yang lolos itu berseru dengan suara nyaring kepada mereka:

“Suatu ketika pohon-pohon pergi untuk mengurapi ca- lon raja atas mereka. Kata mereka kepada pohon zaitun: Jadilah raja atas kami! Namun, jawab pohon zaitun itu kepada mereka: Bagaimana mungkin aku berhenti menghasilkan minyakku yang dipakai untuk menghormati Allah dan manusia, dan hanya me- lambai-lambai di atas pohon-pohon?

Lalu kata pohon-pohon itu kepada pohon ara: Marilah, ja- dilah raja atas kami! Tetapi, jawab pohon ara itu kepada mereka: Bagaimana mungkin aku berhenti menghasilkan rasa manis dan buah-buahku yang baik, dan hanya melambai-lambai di atas pohon-pohon?’

Lalu kata pohon-pohon itu kepada pokok anggur: Mari- lah, jadilah raja atas kami! Tetapi, jawab pohon anggur itu kepada mereka: Bagaimana mungkin aku berhenti menghasilkan air buah anggurku, yang menyukakan hati Allah dan manusia, dan hanya melambai-lambai di atas pohon-pohon?

Lalu kata semua pohon itu kepada semak duri: Marilah, jadilah raja atas kami! Jawab semak duri itu kepada pohon-pohon itu: Jika kamu sungguh-sungguh mau mengurapi aku menja- di raja atas kamu, datanglah berlindung di bawah naunganku.” (Hak. 9:8-15).

KADAL DAN IKAN

Manusia dibentuk dengan memiliki keterbatasan yang penting. Meskipun kita memiliki dua mata, kita hanya bisa me- lihat ke satu arah pada satu waktu. Ada makhluk-makhluk lain seperti kadal, ikan, dan mungkin banyak lagi lainnya yang da- pat memutar mata mereka untuk melihat ke dua arah sekaligus.

Namun, manusia tidak bisa melakukannya. Jika dan ketika kita mengalihkan pandangan kita ke arah pandang yang baru, kita ha- rus seketika itu juga berhenti melihat ke arah pandang yang sebe- lumnya.

Fakta itu memiliki implikasi rohani. Secara batiniah kita juga diciptakan dengan keterbatasan yang sama. Secara rohani, kita hanya bisa memandang ke satu pemimpin saja setiap kalinya. Saat ini, Kepala dan Raja kita adalah Yesus. Pandangan kita harus tetap mengarah pada-Nya. Kita harus “... melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman dan membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2). Jika kita mengalihkan arah pandang kita ke pemimpin lain, mi- salnya pemimpin pemuridan, pendeta, atau tokoh berotoritas la- innya, secara otomatis kita pasti mengalihkan arah pandang kita dari Raja kita. Dengan melakukan itu, kita meninggalkan Kerajaan Allah dan akan menderita banyak jebakan dan konsekuensi dari tindakan ini.

Untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah, kita harus menye- rahkan diri kita sepenuhnya kepada Allah. Saat kita melakukan- nya, kita juga akan mengenali Dia yang mengekspresikan diri-Nya melalui saudara-saudara dan saudari-saudari lainnya. Kita akan mendengar suara-Nya dan taat. Penyerahan itu bersifat “satu sama lain” (Ef. 5:21) dan merupakan tanda bahwa kita benar-benar hi- dup di dalam Kerajaan. Itu adalah bukti bahwa kita benar-benar menyerahkan diri kepada Allah.

Namun, jika kita tidak melakukannya, berapa pun jumlah struktur otoritas manusia, kepemimpinan, dan/atau “penyerah- an” kepada manusia, itu tidak akan menyelesaikan masalah kita. Tidak ada hal yang dapat menggantikan penyerahan diri yang se- jati dan menyeluruh kepada Tuhan.Sering kali manusia akan mendorong kita untuk menyerah- kan diri kepada mereka atau kepada pemimpin lain sebagai cara untuk “menyelesaikan beberapa masalah kita”, atau karena mere- ka bersikeras bahwa itulah cara yang benar. Namun, penyerahan diri kepada manusia semacam itu tidak memberi manfaat apa pun untuk menundukkan hati yang memberontak. Sebaliknya, sering kali penyerahan kepada otoritas manusia hanya berfungsi untuk menyembunyikan pemberontakan batin kita terhadap Allah.

“Kerendahan hati yang pura-pura” (atau “sukarela”) (Kol. 2:18) – dengan kata lain menyerahkan diri kepada kepemimpinan manusia – tidak akan pernah membawa Anda masuk ke dalam Kerajaan Allah. Justru, hal itu akan melakukan yang sebaliknya. Paulus secara eksplisit menyatakan bahwa hal itu akan merampas upah Anda, yang dalam hal ini, adalah masuk ke dalam Keraja- an. Mereka yang tahu cara hidup di Kerajaan adalah orang-orang yang taat tetapi mereka dapat dan harus membedakan kapan oto- ritas itu sungguh berasal dari Allah dan kapan otoritas itu hanya- lah penggantinya yang berasal dari manusia.

Selama bertahun-tahun, saya sering menemukan orang percaya yang terlibat dalam beberapa jenis kelompok yang me- nekankan penyerahan diri kepada manusia. Hampir selalu, sau- dara-saudara dan saudari-saudari terkasih ini tampaknya ke- kurangan dalam hal kedewasaan rohani. Ketergantungan dan ketaatan buta mereka kepada manusia telah mengalihkan perhati- an mereka dari Allah. Mereka menjadi takut untuk mencari Allah sendiri, mendengar arahan-Nya, dan mengikut Dia. Mereka tidak ingin terlihat “mandiri” atau “pemberontak” dan karena itu, me- reka menjadi sepenuhnya bergantung pada sumber manusia.

Mereka enggan bertindak atau berbicara tanpa “izin”, se- hingga hampir tidak dapat dipakai oleh Allah. Dengan demikian, pertumbuhan mereka terhambat dan pekerjaan mereka untuk Allah tidak efektif. Meskipun penyerahan diri kepada kepemimpinan ma- nusia mungkin dapat menghasilkan semacam penampilan perilaku yang benar secara tampak permukaan, sisi dalam mereka tidak ber- ubah. Mereka hanya direformasi, tetapi tidak ditransformasi.

Sebagian orang membayangkan bahwa kontrol semacam itu dari para pemimpin atas berbagai anggota diperlukan, karena sebagian orang percaya memiliki kehidupan yang sepenuhnya ti- dak teratur. Singkatnya, hidup mereka berantakan. Maka, mereka yang “berwenang” percaya bahwa mereka harus melakukan se- macam kontrol untuk memperbaiki situasi itu. Mereka mencoba untuk menundukkan anggota-anggota “pemberontak” itu ke da- lam sistem disiplin tertentu untuk memperbaiki perilaku mereka.

Aktivitas seperti itu tidak akan pernah membuahkan ha- sil rohani. Amsal 27:22 berbunyi, “Sekalipun engkau menumbuk orang bodoh dengan alu, dalam lesung bersama gandum, kebo- dohannya tidak akan lenyap darinya.” Meskipun mungkin me- mungkinkan untuk mencapai semacam kesesuaian dengan sua- tu standar yang tampak di permukaan, “disiplin” manusia tidak akan menghasilkan efek apa-apa untuk mengubah jiwa manusia.

Jawaban sebenarnya di situ adalah untuk membantu orang lain masuk ke dalam penyerahan diri yang sejati kepada Yesus. Kita harus membimbing orang lain ke dalam hubungan yang nya- ta dengan Sang Raja. Itulah yang akan menyelesaikan semua ma- salah mereka.

Ketika mereka benar-benar belajar hidup di dalam Kera- jaan Allah saat ini, Dia akan membimbing mereka di jalan kese- lamatan. Kita tidak boleh mencetak murid untuk diri kita sendiri, tetapi kita harus menghasilkan murid untuk Yesus. Hanya saat kita menatap wajah-Nya dan memandang kemuliaan-Nya itulah kita ditransformasi (2Kor. 3:18).

Mungkin hal yang paling sulit bagi kita manusia untuk dilakukan adalah memercayai Tuan kita yang tak terlihat. Sering kali, kita memiliki lebih banyak kepercayaan pada diri kita sendi- ri dan pada kepemimpinan manusia lainnya daripada pada Juru Selamat rohani kita. Jika kita tidak melakukan apa-apa, apa yang akan terjadi? Jika kita tidak bangkit dan mengambil alih kendali serta kekuasaan, mengorganisir sesuatu, atau melakukan sesuatu, bagaimana dunia akan diselamatkan dan Gereja dibangun? Ada begitu banyak hal yang harus dilakukan. Bagaimana jika Allah ti- dak melakukannya?

Saya tidak menyarankan sikap pasif di sini. Saya sama se- kali tidak mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan yang harus kita lakukan. Saya hanya menyatakan bahwa itu bukan pekerjaan dari upaya dan energi manusiawi kita, bukan kekuatan dan kemampu- an alamiah kita, bukan “karunia rohani” kita dan pelayanan kita, yang Allah butuhkan. Sebaliknya, yang penting adalah penye- rahan diri kita kepada-Nya. Saat kita mengizinkan Dia hidup di dalam dan melalui diri kita, pekerjaan-Nya akan tercapai dengan cara yang efektif.

Yesus tidak cacat. Justru, mungkin Dia terhambat oleh semua “bantuan” kita. Kita hanya perlu memiliki iman bahwa, saat kita menyerahkan diri kepada-Nya dengan rendah hati dan sederhana, kehendak-Nya kemudian dapat terwujud di dalam dan melalui kita. Semua itu akan dilakukan-Nya sesuai dengan prinsip-prinsip Kerajaan-Nya yang telah Dia ajarkan kepada kita. Dengan demikian, Kerajaan-Nya akan datang di bumi seperti di Surga.

Dengan merenungkan semua hal itu, mungkin akan baik bagi kita semua untuk meluangkan waktu untuk memikirkan kembali apa yang kita lakukan dalam nama Yesus. Apa yang se- dang kita bangun? Di dalam kerajaan mana kita sebenarnya se- dang hidup?

Jika Anda menemukan diri Anda dalam posisi otoritas atas orang lain, jika Anda memerintah dan mengendalikan sejum- lah besar orang percaya lainnya, mungkin inilah saatnya Anda berhenti sejenak dan menilai kembali posisi Anda. Mungkin ada sesuatu yang Anda lewatkan. Mungkin ada beberapa kebenaran tentang Kerajaan Allah yang belum sepenuhnya jelas bagi Anda. Jika Anda menemukan diri Anda dalam posisi “di atas” orang lain di gereja, Anda telah melewatkan Kerajaan Allah. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi Anda untuk berpaling dari cara yang salah ini sebelum terlambat.

Saudara-saudari, tolong pertimbangkan hal-hal ini dengan penuh doa dan kehati-hatian. Respons kita terhadapnya memiliki banyak konsekuensi, baik pada zaman ini maupun pada zaman yang akan datang.

Akhir bab 13

Baca bab-bab lain secara online:

Pendahuluan, Bab 1: “Datanglah kerajaan-mu

Bab 2: Dua “kerajaan”

Bab 3: Kronologi singkat

Bab 4: Hari tuhan

Bab 5: Pada mulanya

Bab 6: Amanat tuhan - kegagalan manusia

Bab 7: Kerajaan allah ada di antara anda

Bab 8: “Tuhan, tuhan”

Bab 9: Balasan yang setimpal

Bab 10: Pengampunan dan penghakiman

Bab 11: Anak laki-laki

Bab 12: Hidup dalam kemenangan

Bab 13: Kepemimpinan dan kerajaan allah (Bab saat ini)

Bab 14: “Pekerjaan iman”

Bab 15: Kata-kata penghiburan, Kesimpulan

We are always looking to offer books in more languages.


Want to help us by translating or proofreading books?

How to volunteer